“Minal ‘Aaidin wal Faaizin” kalimat bid’ah-kah?

Ping your blog, website, or RSS feed for Free My Ping in TotalPing.com





Oleh: Farid Nu’man Hasan
Mukadimah
               
Di negeri kita, sudah biasa dan telah menjadi tradisi yang turun temurun jika Idul Fitri - Lebaran mengucakan: minal ‘Aadin wal faaizin, yang artinya kembali (menjadi suci) dan menjadi pemenang (faaiz). Aslinya adalah ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aaidin wal faaizin (semoga Allah menjadikan kami dan kalian termasuk orang yang kembali suci dan beruntung). Tapi ketika kalimat ini masuk ke negeri kita, selalu digandengkan dengan: mohon maaf lahir dan batin, sehingga tidak sedikit yang mengira itulah terjemahannya. Padahal bukan.
               
Beragam versi telah disampaikan tentang asal muasal kalimat tersebut, namun yang pasti kalimat tersebut tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak dalam Al Quran dan As Sunnah. Tetapi, apakah serta merta ucapan ini terlarang bahkan disebut bid’ah dalam agama?
Syariat Memerintahkan berkata-kata yang baik
               
Secara umum, Islam menganjurkan umatnya untuk berkata-kata yang baik, di mana pun dan kapan pun. “Berkata-kata” adalah perbuatan naluriah manusia sebagaimana mendengar, melihat, memegang, berjalan, dan lainnya. Semua ini memiliki kaidah: jika baik maka itu adalah kebaikan, jika buruk maka itu adalah keburukan.
               
Begitu pula kata-kata baik yang berisikan doa dan tahniah, yang kemudian menjadi kultur bicara yang menjadi kata idiom atau sapaan sebagian manusia, maka semuanya adalah hal yang bagus-bagus saja, walau tidak secara eksplisit disebutkan dalam nash. Sebagaimana ucapan sehari-hari orang Arab: barakallahu fiik ……. , hayyakallah ……, dan sebagainya.
               
Dalam Al Quran, Allah Ta’ala berfirman:
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا
               
Dan ucapkanlah oleh kalian kepada mereka perkataan yang baik-baik (ma’ruf). (QS. An Nisa (4): 5 dan 8)          
               
Dalam hadits, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ يَتَكَلَّمُ بِهَا الرَّجُلُ صَدَقَةٌ
               
 Perkataan baik yang diucapkan oleh seorang laki-laki adalah sedekah. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 422, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 11027, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 16309. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam berbagai kitabnya seperti Shahihul Jami’, Shahih Adabil Mufrad, Irwa’ul Ghalil, dll)
               
Maka, mengucapkan kalimat-kalimat yang mengandung makna kebaikan seperti “minal ‘aaidin …, dan semisalnya ketika dihari raya adalah boleh berdasarkan keumuman nash-nash ini.
“Taqabballahu Minna wa Minkum” juga tidak ada sunahnya!
Telah diriwayatkan dari Al Watsilah, bahwa beliau berjumpa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengucakan:  Taqabballahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amal kami dan Anda). Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: Na’am, Taqabballahu minna wa minka (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6519, 6520)
Namun sanad riwayat ini dhaif (lemah/tidak valid), sebagaimana yang dikatakan para imam.
Al Hafizh Ibnu ‘Adi mengatakan –sebagaimana dikutip Imam Al Baihaqi: “hadits ini munkar.” (Lihat As Sunan Al Kubra No. 6520)
Imam Ibnul Jauzi mengatakan: tidak shahih. (Al ‘Ilal Al Mutanahiyah, No. 811)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Bari (2/446. Darul Fikr) juga menerangkan kelemahannya, karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Ibrahim Asy Syaami seorang yang dhaif dan dia meriwayatkan hadits ini secara menyendiri.
Malah ada hadits lain yang melarang ucapan taqabbalallah mina wa minka yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang ucapan taqabbalallah tersebut, Beliau menjawab: “Itu adalah perbuatan dua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).” Tetapi, hadits ini juga dhaif, seakan maksud dari Imam Al Baihaqi adalah tak ada satu pun yang shahih tentang ucapan ini.
Namun,  Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:
وَرَوَيْنَا فِي " الْمَحامِلِيَّاتِ " بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ " كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك "
“Kami meriwayatkan dalam kitab Al Mahamiliyyat, dengan sanad yang hasan (bagus), dari Jubeir bin Nufair, katanya: dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa pada hari raya, satu sama lain berkata: “taqabbalallahu minna wa minka.” (Fathul Bari, 2/446. Darul Fikr)
               
Hal ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Ziyad, bahwa beliau bersama Abu Umamah Al Bahili dan para sahabat nabi lainnya, bahwa mereka jika satu sama lain berjumpa sepulang shalat Id, mengucapkan: taqabballahu minna wa minka. Menurut Imam Ahmad bin Hambal sanadnya jayyid (bagus/baik). (Imam At Turkumani, Jauhar An Naqi, 3/320, Syaikh Al Albani, Tamamul Minnah, hal. 355-356). Imam As Suyuthi juga menghasankan. (Lihat Al Hawi Lil Fataawi, 1/117)
               
Ad-ham –seorang pelayan Umar bin Abdul Aziz Radhiallahu ‘Anhu- berkata;
كُنَّا نَقُولُ لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِى الْعِيدَيْنِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا وَلاَ يُنْكِرُ ذَلِكَ عَلَيْنَا.
               
Dahulu kami berkata kepada Umar bin Abdul Aziz saat dua hari raya: “Taqabbalallah minna wa minka wahai amirul mu’minin” lalu dia menjawabnya kepada kami dan hal itu tidak diingkari. (As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi No. 6521)
               
Pengarang kitab Ad Durul Mukhtarmadzhab Hanafi- mengatakan:
 إِنَّ التَّهْنِئَةَ بِالْعِيدِ بِلَفْظِ " يَتَقَبَّل اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ " لاَ تُنْكَرُ
               
Sesungguhnya ucapan selamat dengan lafaz: “Yataqabbalullah minna wa minkum”, tidaklah diingkari. (Al Mausu’ah, 14/99)
Ucapan-ucapan seperti minal aaidin … , ‘iduka Mubarak …,  termasuk yang dikatakan para sahabat nabi ini,  tidaklah serta merta dikatakan bid’ah (baca: hal baru yang menyesatkan) hanya karena nabi tidak pernah mengucapkan. Sebab itu semua mengandung muatan yang baik yakni doa, dan mencerminkan perkembangan fenomena sosial yang bersifat wajar di masing-masing negeri muslim. Telah menjadi kenyataan, bahwa kalimat yang beredar di berbagai negeri muslim pun tidak seragam, di sebagian negeri muslim Timur Tengah lebih terkenal ucapan: Iduka Mubarak! (Semoga Hari raya Anda yang penuh berkah). Juga Kullu ‘Aamin wa antum bi khair (Semoga Anda dalam keadaan baik sepanjang tahun). Semua ini tidak mengapa selama tidak dianggap sebagai ajaran syariat yang baku. Sebab kalimat ini merupakan doa dan idiom yang lahir dari tradisi masing-masing negeri. Jika baik maka  baik dan jika buruk maka  buruk.  Ditambah lagi tak satu pun ulama yang mengingkarinya.
Imam An Nawawi dalam kitab Al Khulashah membuat bab berjudul:
بَاب لَا بَأْس بقول الْإِنْسَان يَوْم الْعِيد لغيره : تقبّل الله منا ومنك " ، وَنَحْو هَذَا من الدُّعَاء
Bab: Tidak Apa-Apa dengan  Ucapan Manusia kepada lainnya pada hari raya: “Taqabbalallahu minna wa minka,” dan ucapan doa lain yang semisal ini(Khulashah Al Ahkam fi Muhimmat As Sunan wa Qawaaid Al Islam, 2/849)
               
Mari kita menjaga dan menahan lisan, untuk mencela sesama muslim hanya karena mereka menggunakan minal aaidin, bukannya taballallah minna wa minkum, apalagi setelah diketahui bahwa kedua kalimat ini juga tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di sisi lain, lucunya kita diam saja terhadap orang Islam yang rajin  mengucapkan selamat natal dan tahun baru! Yang jelas-jelas bukan dari Islam, baik syariat, budaya, dan sejarahnya …!
Fatwa – Fatwa Ulama
               
Para ulama Islam juga tidak mempermasalahkan ucapan selamat dengan berbagai macam modelnya, selama berisi kebaikan dan doa.
  1. Imam Malik Rahimahullah
Imam Malik  tidak mengingkari berbagai ucapan selamat ketika hari raya:
أَمَّا عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ فَقَدْ سُئِل الإِْمَامُ مَالِكٌ عَنْ قَوْل الرَّجُل لأَِخِيهِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّل اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ يُرِيدُ الصَّوْمَ وَفِعْل الْخَيْرِ الصَّادِرِ فِي رَمَضَانَ ، وَغَفَرَ اللَّهُ لَنَا وَلَكَ فَقَال : مَا أَعْرِفُهُ وَلاَ أُنْكِرُهُ . قَال ابْنُ حَبِيبٍ : مَعْنَاهُ لاَ يَعْرِفُهُ سُنَّةً وَلاَ يُنْكِرُهُ عَلَى مَنْ يَقُولُهُ ؛ لأَِنَّهُ قَوْلٌ حَسَنٌ لأَِنَّهُ دُعَاءٌ
Ada pun kalangan Malikiyah, Imam Malik pernah ditanya tentang ucapan seseorang kepada saudaranya pada hari raya: Taqabbalallahu minna wa minka (semoga Allah menerima amal kita dan anda), maksudnya menerima puasa dan amal baik yang dilakukan pada Ramadhan. Dan ucapan Ghafarallahu lana wa laka, Beliau menjawab: “Saya tidak mengetahuinya, tetapi saya tidak mengingkarinya.” Ibnu Habib berkata: maknanya adalah dia tidak mengetahui sunahnya, dan dia tidak mengingkari orang yang mengucapkannya, karena itu adalah ucapan yang bagus sebab berisi doa. (Ibid, 14/100) 
  1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Beliau ditanya sebagai berikut:
هَلْ التَّهْنِئَةُ فِي الْعِيدِ وَمَا يَجْرِي عَلَى أَلْسِنَةِ النَّاسِ : " عِيدُك مُبَارَكٌ " وَمَا أَشْبَهَهُ , هَلْ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرِيعَةِ , أَمْ لا ؟ وَإِذَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرِيعَةِ , فَمَا الَّذِي يُقَالُ ؟
فأجاب :
"أَمَّا التَّهْنِئَةُ يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ إذَا لَقِيَهُ بَعْدَ صَلاةِ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك , وَنَحْوُ ذَلِكَ , فَهَذَا قَدْ رُوِيَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ وَرَخَّصَ فِيهِ, الأَئِمَّةُ , كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . لَكِنْ قَالَ أَحْمَدُ : أَنَا لا أَبْتَدِئُ أَحَدًا , فَإِنْ ابْتَدَأَنِي أَحَدٌ أَجَبْته , وَذَلِكَ لأَنَّ
جَوَابَ التَّحِيَّةِ وَاجِبٌ , وَأَمَّا الابْتِدَاءُ بِالتَّهْنِئَةِ فَلَيْسَ سُنَّةً مَأْمُورًا بِهَا , وَلا هُوَ أَيْضًا مَا نُهِيَ عَنْهُ , فَمَنْ فَعَلَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ , وَمَنْ تَرَكَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ" اهـ .
Apakah  ucapan selamat ketika hari raya dan kalimat yang biasa diucapkan manusia: ‘Iduka Mubarak, dan yang semisalnya, memiliki dasar dalam syariat atau tidak? Kalau memang ada dasarnya seperti apa ucapannya?
Beliau menjawab:
              
Ada pun ucapan selamat ketika hari raya yang diucapkan manusia satu sama lain setelah mereka shalat Id: taqabballahu minna wa minkum .., wa ahallallahu ‘alaika .., dan yang semisalnya,  maka yang demikian ini telah diriwayatkan bahwa para sahabat nabi melakukannya dan mereka memberikan keringanan atas hal itu, juga para imam, seperti Imam Ahmad dan lainnya. Tetapi Imam Ahmad berkata: “Aku tidak memulai mengucapkannya kepada seorang pun, tapi jika ada seseorang yang memulainya maka aku akan menjawabnya.” Ini karena menjawab ucapan  selamat   adalah wajib, sedangkan memulai ucapan selamat bukanlah sunah yang diperintahkan, dan tidak pula terlarang. Barang siapa yang melakukannya maka dia memiliki contoh, dan barang siapa yang tidak melakukannya maka dia juga memiliki contoh. Wallahu A’lam. (Al Fatawa Al Kubra, 2/228)
  1. Imam Zakaria Al Anshari Rahimahullah
Beliau mengatakan:
وَقَوْلُهُ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك أَيْ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِي التَّهْنِئَةِ وَمِنْهُ الْمُصَافَحَةُ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ فِي يَوْمِ الْعِيدِ أَنَّهَا لَا تُطْلَبُ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَمَا بَعْدَ يَوْمِ عِيدِ الْفِطْرِ لَكِنْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّهْنِئَةِ فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ وَلَا مَانِعَ مِنْهُ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ التَّوَدُّدُ وَإِظْهَارُ السُّرُورِ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ أَيْضًا فِي يَوْمِ الْعِيدِ أَنَّ وَقْتَ التَّهْنِئَةِ يَدْخُلُ بِالْفَجْرِ لَا بِلَيْلَةِ الْعِيدِ  
               
Ucapannya (taqabbalallahu minna wa minka) -yaitu- dan ucapan yang semisalnya, yang telah menjadi adat kebiasaan dalam ucapan selamat, dan termasuk berjabat tangan, yang biasa digunakan   pada hari raya, ini tidaklah diperintahkan pada hari-hari tasyriq dan tidak pula setelah hari Idul Fitri. Tetapi sebagian manusia terbiasa mengucapkannya pada hari-hari tesebut dan hal itu tidak ada larangannya, karena maksudnya adalah untuk memperlihatkan rasa cinta dan menampakkan kebahagiaan.  Ucapan ini juga diucapkan pada hari raya, dan waktu ucapan selamat itu adalah ketika sudah masuk fajar bukan ketika malam hari rayanya. (Hasyiyah Al Jumal, 6/264. Mawqi’ Al Islam)
  1. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah
Beliau ditanya:
يقول الناس في تهنئة بعضهم البعض يوم العيد ( تقبل الله منا ومنكم الأعمال الصالحة) أليس من الأفضل يا سماحة الوالد أن يدعو الإنسان بتقبل جميع الأعمال , وهل هناك دعاء مشروع في مثل هذه المناسبة؟  
ج: لا حرج أن يقول المسلم لأخيه في يوم العيد أو غيره تقبل الله منا ومنك أعمالنا الصالحة , ولا أعلم في هذا شيئا منصوصا , وإنما يدعو المؤمن لأخيه بالدعوات الطيبة; لأدلة كثيرة وردت في ذلك. والله الموفق .
Dalam ucapan selamat pada hari raya, manusia mengucapkan (Taqabballallahu minna wa minkum al a’maal ash Shaalih), apakah hal ini –wahai syaikh-  bukan termasuk keutamaan mendoakan manusia agar diterima semua amalnya? Apakah ada doa khusus yang disyariatkan pada momen seperti ini?
Jawaban: “Tidak apa-apa seorang muslim berkata kepada saudaranya pada hari raya dan selainnya dengan ucapan: Taqabballallahu minna wa minkum al a’maal ash Shaalih, saya tidak mengetahui adanya nash sedikit pun tentang ucapan seperti ini. Sesungguhnya seorang mu’min  mendoakan saudaranya hanyalah mendoakannya dengan berbagai doa-doa yang baik, karena dalilnya begitu banyak tentang hal ini. Wallahu A’lam (Majmu’ Fatawa Ibni Baaz, 13/25)
Maka, ucapan doa apa pun yang baik-baik adalah boleh.
  1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah
Beliau ditanya:
ما حكم التهنئة بالعيد ؟ وهل لها صيغة معينة ؟
فأجاب :
"التهنئة بالعيد جائزة ، وليس لها تهنئة مخصوصة ، بل ما اعتاده الناس فهو جائز ما لم يكن إثماً"
Apakah hukum ucapan selamat ketika hari raya? Apakah ada  ucapan khususnya ?
               
Beliau menjawab:
               
“Ucapan selamat pada saat hari raya adalah boleh, dan tidak ada ucapan selamat yang khusus, bahkan ucapan yang telah menjadi kebiasaan manusia adalah boleh selama tidak mengandung dosa.”
               
Lalu Beliau ditanya lagi:
ما حكم المصافحة ، والمعانقة والتهنئة بعد صلاة العيد ؟
فأجاب :
"هذه الأشياء لا بأس بها ؛ لأن الناس لا يتخذونها على سبيل التعبد والتقرب إلى الله عز وجل ، وإنما يتخذونها على سبيل العادة ، والإكرام والاحترام ، ومادامت عادة لم يرد الشرع بالنهي عنها فإن الأصل فيها الإباحة"
               
Apakah hukum berjabat tangan, berangkulan, dan ucapan selamat ketika hari raya?
               
Beliau menjawab:
Semuanya  tidak apa-apa, karena manusia melakukannya tidak menjadikannya sebagai maksud peribadatan dan tidak sebagai sarana untuk taqarrub ilallah, tetapi mereka melakukan itu sebagai kebiasaan saja, untuk memuliakan dan menghormati,  dan  terus menerus menjalankan kebiasaan selama tidak ditentang oleh syariat dengan larangan, maka pada dasarnya boleh saja. (Majmu’ Fataawa Ibni Utsaimin, 16/208-210)
  1. Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah  
Beliau berkata:
لا مانع من تهنئة الناس بعضهم لبعض بالمناسبات السعيدة ، بل قد يكون ذلك سنة يثاب عليها الإنسان إذا قصد بذلك إدخال السرور على أخيه المسلم ، لمشاركته فرحته بهذه المناسبة أو النعمة التى أنعم الله بها عليه  
               
Tidak terlarang ucapan selamat manusia kepada selainnya pada saat momen-momen yang membahagiakan,  bahkan hal itu menjadi perbuatan yang dianjurkan, dan mendapatkan pahala bagi orag yang melakukannya  jika hal itu dimaksudkan untuk membuat bahagia saudaranya yang muslim, supaya dia ikut merasakan kegembiraannya itu baik pada sebuah acara atau karena nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. (Fatawa Al Azhar, 10/418)
               
Dan masih banyak ulama lainnya.
               
Wallahu A’lam
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: “Minal ‘Aaidin wal Faaizin” kalimat bid’ah-kah?
Ditulis oleh Seseorang/>
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://nettersejati.blogspot.com/2012/08/minal-aaidin-wal-faaizin-kalimat-bidah.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentarnmu !!!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Anda Adalah Pengunjung Ke

Data pengunjung

Template by Berita Update - Trik SEO Terbaru. Original design by Bamz | Copyright of Netter Sejati.